Metode Omnibus Law Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah Jilid 2

2022 03 31 raperda luwansa 1jakarta.kemenkumham.go.id - Omnibus Law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.

Konsep Omnibus Law ini dalam undang-undang  bertujuan untuk menyasar  isu besar yang memungkinkan dilakukannya pencabutan atau perubahan beberapa undang-undang sekaligus (lintas sektor) untuk kemudian dilakukan penyederhanaan dalam pengaturannya, sehingga diharapkan tidak terjadi konkurensi/persengketaan dan atau perlawanan antara norma yang satu dengan yang lainnya.

2022 03 31 raperda luwansa 1

Kamis (31/03/2022), dalam Rakor "Kebutuhan Hukum Metode Omnibus Law Dalam Pembentukan Produk Hukum Daerah" oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta yang berlangsung pada hari kedua di Hotel JS Luwansa, pembahasan semakin mendalam dengan hadirnya tiga Narasumber utama yaitu; DR. Ahmad Redi SH.MH, selain sebagai Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara beliau juga merupakan Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute. Kemudian DR. Wicipto Setiadi SH.MH mantan Direktur Jenderal PP Kemenkumham yang masih aktif sebagai pengajar di UPN Veteran Jakarta. Masing-masing merupakan ahli termohon dan pemohon dalam kasus UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan Narasumber ketiga yaitu Afdhal Mahatta yang merupakan Dosen Prodi Hukum Bisnis Podomoro University yang juga sebagai Tenaga Ahli Komisi III DPR RI. 

Ahmad Redi yang merupakan salah satu penggagas Omnibus law memaparkan bahwa Indonesia adalah negara dengan regulasi paling banyak (obesitas regulasi) di dunia saat ini. Jika dibandingkan dengan negara-negara besar macam Amerika Serikat, Jerman atau Inggris, maka Indonesia memiliki hiperregulasi dan overlapping peraturan perundangan hingga 220.346 peraturan. "Hal ini akan  menjadikan Indonesia regulasinya menjadi Malfungsi dan akan menjadi ancaman, sebab regulasi tersebut menjadi tumpang tindih dan akan saling menjerat satu sama lain dan menghambat pembangunan dan akhirnya pembangunan akan menjadi stagnan", terangnya 

2022 03 31 raperda luwansa 3

Ia melanjutkan bahwa Omnibus Law hadir sebagai salah satu upaya memperbaiki dan menyempurnakan regulasi yang carut marut seperti negara-negara yang punya sejarah buruk dalam regulasi kemudian mampu bangkit menjadi maju setelah melakukan perbaikan melalui metode omnibus law.

Sementara itu Wicipto Setiadi mengingatkan bahwa konsep ideal dalam upaya memperbaiki regulasi yang ada harus sesuai dengan syarat-syarat baku penyusunan regulasi sehingga nantinya akan mendapatkan legitimasi yang baik dan tidak mudah digugat ulang (Juditial Review) dimasa depan. Untuk UU Cipta Kerja, perbaikan harus focus pada proses pembentukan UU Cipta Kerja tetapi tidak pula menkesampingkan muatan materi dan partispasi publik dalam pembentukan Undang-Undang tersebut.

"Jangan sampai UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen karena tidak diperbaiki selama 2 tahun sesuai permintaan Mahkamah Konstitusi", pungkasnya mengingatkan.

Afdhal Mahatta sebagai tenaga ahli komisi III DPR RI menjelaskan upaya yang telah dilakukan oleh DPR dalam melakukan proses legislasi dengan memperkuat partisipasi publik sehingga DPR sekarang telah menjadi lembaga yang terbuka, transparan, inklusif dan akuntabel.

Diskusi menjadi dinamis dengan antusiasme peserta yang mayoritas pada bidang penyusun peraturan perundangan dan ditambah dengan narasumber yang memang pakar pada bidangnya dan merupakan mereka yang benar-benar tahu dan terlibat dalam Omnibus Law yang tercermin dalam UU Cipta Kerja yang saat sedang dibekukan oleh Mahkamah konstitusi untuk diperbaiki dalam waktu dua tahun.


2022 03 31 raperda luwansa 2

(Humas Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta)


Print   Email