Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi anak hasil perkawinan campur

2018 05 31 Sosialisasi Kewarganegaraan 3Jakarta.kemenkumham.go.id - Kamis (31/5/2018) Kantor Wilayah DKI Jakarta melalui Divisi Pelayanan Hukum dan HAM menggelar Sosialisasi Kewarganegaraan di Hotel Sofyan yang terletak di Jalan Prof. DR. Soepomo No.23, Tebet, Jakarta Selatan.

Dalam kegiatan ini Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DKI Jakarta Bambang Sumardiono yang didampingi oleh Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Baroto, membuka secara resmi kegiatan sosialisasi kewarganegaraan yang bertajuk Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi anak hasil perkawinan campur. 

"Ada beberapa asas yang dianut dalam menetapkan kewarganegaraan seseorang, diantaranya Ius sanguinis atau asas keturunan atas pertalian darah yang merupakan hak kewarganegaraan yang diperoleh seseorang (individu) berdasarkan kewarganegaraan ayah atau ibu biologisnya, yang berikutnya menganut asas isu soli yang berarti seseorang mendapatkan hak kewarganegaraannya berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara" Ungkap Kakanwil saat membuka kegiatan sosialisasi. 

Bagian yang paling penting disini adalah dianutnya asas campuran Ius Sanguinis dan Ius Solli yang mengakui kewarganegaraan ganda pada anak-anak dari pasangan perkawinan campur. "Ada hal yang menarik disini saat saya menguji seseorang warga negara asing yang hendak menjadi warga negara Indonesia, mereka telah lama tinggal di negara Indonesia namun kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia mereka masih tidak lancar"ujar Kakanwil DKI Jakarta.

Perlindungan dan Kepastian Hukum sangatlah perlu bagi anak hasil perkawinan campuran sebab sampai anak berusia 18 tahun, diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut ditambah tenggang waktu tiga tahun barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya. Ketentuan inilah yang menghindari terjadinya stateless. 

2018 05 31 Sosialisasi Kewarganegaraan 5Undang-undang Kewarganegaraan tampaknya secara filosofis ingin mengatakan bahwa akulturasi budaya melalui media kewarganegaraan menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan.

Di sini, hukum sebagai perekayasa sosial berfungsi. Hanya saja tata nilai yang ada didalamnya akibat dari percampuran perkawinan berada di luar konteks undang-undang tersebut.

Negara, yang telah berhasil menghasilkan undang-undang progresif ini, harus juga memberikan pemahaman yang komprehensif kepada sekelompok masyarakat yang ketat menjaga nilai-nilai adat dan agama, yang menolak tradisi kawin campur.

Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan Pasangan suami-istri yang berlainan kewarganegaraan yang tinggal di Indonesia yang tidak memiliki kepastian hukum. Perempuan warga WNI yang menikah dengan pria WNA merupakan angka terbesar yang biasanya perkenalan melalui internet, bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah. Perkawinan campur terjadi juga pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.

2018 05 31 Sosialisasi Kewarganegaraan 7 2018 05 31 Sosialisasi Kewarganegaraan 8

Foto bersama Narasumber bersama dengan para peserta sosialisasi kewarganegaraan yang bertajuk Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi anak hasil perkawinan campur di Hotel Sofyan Jakarta Selatan, Kamis (31/5/2018)

2018 05 31 Sosialisasi Kewarganegaraan 6

Edison Siaturi, Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta yang merupakan salah satu narasumber yang mengisi dalam sosialisasi kewarganegaraan yang digelar di Hotel Sofyan mengatakan "Kami di Dinas Dukcapil dalam melaksanakan tugas pelayanan administrasi kependudukan pada lingkup Provinsi DKI Jakarta melakukan tiga point yang mendasar (1) Pelayanan Pencatatan Perkawinan Campuran (2) Pencatatan Kelahiran Anak hasil Perkawinan Campuran dan (3) Pencatatan Perubahan Kewarganegaraan." 

Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta mencatat perkawinan campuran sampai saat ini, 90 persennya didominasi perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria Warga Negara Asing (WNA). 


Print   Email